Sebab tujuh kali orang benar jatuh, namun ia bangun kembali,
tetapi orang fasik akan roboh dalam bencana.
(Amsal 24:16) Senin, 30 Juli 2012
Berkali-kali aku mengucapkan
kalimat ini kepada Jeremy maupun Abigail, berharap mereka selalu ingat, “Ingat ya, yang Tuhan sayang itu karakter kita, bukan yang lain. Dia
tidak sayang pada apapun yang kita miliki; harta, kesehatan, kesusksesan, kedudukan....
Itulah mengapa kadang kita melihat ada orang yang cinta Tuhan, tapi dibiarkan
sakit parah. Itu karena Tuhan ingin dia memiliki karakter yang unggul. Juga
kegagalan, karena dalam kegagalan, Dia ingin membuat kita lebih kuat, lebih
bersandar...” Sekarang, kalimatku itu menjadi ‘hidup’ dan menjadi ‘kurikulum’ yang
Tuhan ijinkan untuk dialami oleh kami sekeluarga.
SMPTN dan SIMAK UI sudah berlalu,
putraku mengikuti keduanya dan tidak lolos. Sebuah kenyataan ‘pahit’ yang harus
kami terima sebagai keluarga. Sebuah kegagalan yang harus kami maknai dari
sudut pandang Allah. Berat memang,
menerima kenyataan bahwa putra kami harus menunda untuk kuliah setahun di
fakultas kedokteran sementara kami tahu kalau cita-citanya untuk masuk ke
jurusan itu sangat besar.
Suamiku kali ini lebih proaktif
menawarkan berbagai alternatif untuk kuliah di swasta, bahkan ia sudah
berkonsultasi kepada dr. Sidhi dan dr. Regie untuk meminta pertimbangan apa
yang sebaiknya dilakukan saat mengetahui Jeremy belum punya kesempatan masuk
UI. Kali ini aku sengaja tidak mau
banyak mencampuri diskusi mereka, membiarkan mereka saling berargumentasi
sambil terus berdoa meminta Tuhan memberi jalan keluar yang terbaik untuk
masalah ini. Aku mendengar Jacky
berusaha memberikan semangat untuk putranya, “Ko, bukan kamu saja yang tidak
diterima. Kokonya Monic yang sekolah di Kanisius, anaknya pinter, rajin ikut
BTA juga tidak lolos, dan saat ini dia masuk Admajaya... Ayo, papa akan
usahakan dananya kalau kamu mau masuk swasta...” Rupanya Jeremy tetap pada
pendirian semula, “Ijinkan Koko tidak kuliah setahun ya, Pa, Koko akan
persiapkan diri dengan lebih baik dengan metode Koko sendiri. Kalau tahun depan
tidak diterima lagi baru masuk swasta”
Pembicaraan mereka berhenti, aku melihat ketidakpuasan di wajah Jacky,
aku tahu, dia pasti cemas dengan keputusan yang dibuat putra kami.
Di kesempatan lain, aku mencoba
bertanya kepada Jacky, apa yang menghkawatirkannya dengan keputusan yang dibuat
Jeremy. Ternyata sama dengan apa yang kupikirkan, kami berdua kuatir kalau ia
membuang setahun dengan percuma. Kali ini kuputuskan aku yang maju bicara, “Ko,
papa kecewa loh dengan keputusan kamu...” Aku sengaja menggantung kalimatku,
berharap dia menanggapinya bukan hanya dengan kognitif tapi juga dengan afeksinya,
biasa, wanita memang memilih menyentuh segi ‘perasaan’. “Kenapa kecewa ma? Papa
ingin sekali aku kuliah ya?”
“Ya iyalah, kamu anak pertama
papa yang akan kuliah, tentu papa ingin kamu kuliah seperti anak-anak yang
lain...”
“Kenapa sih, musti lihat orang
lain? Aku kan bukannya ga mau kuliah, tapi tahun depan...”
“Kami kuatir kamu akan buang
waktu percuma setahun ini”
“Percayalah ma, aku tidak akan
membuang waktuku. Aku akan menggunakan setahun ini dengan baik. Kan aku sudah
bilang aku akan belajar bahasa Inggris supaya aku siap saat aku kuliah, trus
bahasa mandarin dan akan les bahasa Indonesia”, nadanya mulai meninggi. Mungkin
dia merasa terpancing menjadi kesal karena kami belum dapat memahami pemikiran
dan menyetujui rencananya. “Aku tetap akan belajar pelajaran yang tak berguna
juga, Mat, Fis, Kim hanya untuk tes masuk. Biologi tentu akan koko pelajari
lebih banyak karena nanti itu berguna saat masuk kedokteran. Aku tahu kok apa
yang akan kulakukan...”
Aku mencoba untuk menerima
rencananya walaupun dalam pikiranku aku belum bisa setuju seratus prosen, tapi
tidak terlalu kaget karena pemikiran ini sudah pernah dibahas sebelumnya. “Kamu
yakin tidak apa-apa tidak kuliah tahun ini? Tidak peduli dengan pandangan orang
lain?”
“Justru Koko mengkhawatirkan papa
dan mama, kalian harus belajar tutup kuping kalau mendengar orang lain,
teman-teman mama mengomentari yang negatif tentang keputusanku ini. Kalau aku
sih tidak apa-apa, aku cuek aja, aku tahu kok apa yang harus aku lakukan” Ya,
putraku akhirnya mampu menangkap kecemasan kami, kami begitu takut dengan
‘pendapat miring orang lain’ ketimbang men-support
keputusan yang sudah dibuatnya dengan berbagai pertimbangan.
Kalimatnya membuatku tersadar
bahwa ini sebuah pembelajaran yang bukan hanya dialami oleh putraku tapi juga
oleh kami, orangtuanya. Begitu juga dengan belajar menerima kegagalan. Akhirnya
aku tahu bahwa gagal masuk Fak Kedokteran UI
di tahun ini ‘lebih berguna’ untuk membentuk putraku menjadi lebih
dewasa dan mengandalkan Tuhan ketimbang jika dia diterima. Hal itu terlihat jelas saat pengumuman Simak
yang dimajukan. Pagi itu ia memberi tahukan bahwa di Kompas ada pengumuman
Simak, dia akan mencari korannya. Tentu aku masih terus berharap Tuhan memberi
kesempatan melalui jalur ini kepada putraku. Tapi kali ini, aku lebih banyak
berdiam diri dan berdoa dalam hati, tidak banyak memberinya kalimat penguatan.
Hari berlalu sampai sore dan koran masih ada di tanganku, “Masa sih Koko ga hafal nomor Koko sendiri?” aku complain kepadanya. “Ya mana ingat, nanti
saja di rumah lihatnya, ya...” jawabnya enteng. Kucoba mencari kecemasan di
wajahnya, tapi tidak kutemukan, berbeda dengan saat ia memberitahukanku bahwa
ia tidak lolos SMPTN yang lalu. Ia tampak sangat kecewa walaupun mencoba tetap
tenang dan tegar.
Sesampainya di rumah, aku masuk
kamar dan mengunci pintu untuk segera mencari nomor putraku di antara urutan
nomor yang begitu banyak dan panjang. Terus terang, ini pengalaman pertamaku
mencari nomor di koran. Dulu saat aku SMA, aku tidak mengikuti tes masuk PTN karena aku diterima
melalui jalur PMDK Negri, sehingga tidak pernah punya pengalaman merasakan
kecemasan bercampur harapan saat meneliti nomor-nomor itu. Aku mulai mengeluh,
“Tuhan, begitu mudahnya aku kuliah dulu, sebelum lulus ujian, aku sudah dapat
PTN, aku tidak mengalami apa yang Koko alami... Tolong dia, Tuhan... Tuhan kan
tahu, secara akademis Koko jauh lebih cerdas dari aku. Tes intelegensinya pun
di atas aku...”
Aku mencari sambil terus berdoa
dan ternyata tidak ada nomor putraku di antara sejumlah nomor yang ada dalam
koran itu. Aku menangis sedih, ya Tuhan, aku kecewa lagi. Terbayang dipikiranku
kalau putraku benar-benar tidak akan kuliah tahun ini, siapa ibu yang tidak
bangga jika anaknya mulai kuliah? Dia pasti akan bersikeras untuk tidak akan
kuliah, aku mengenal keteguhannya. Jeremy mengetuk pintu, meminta aku segara
membukanya. Aku harus membukanya, putraku membutuhkanku, begitu pikirku. Dalam
kekecewaan aku coba menghiburnya, “Ga apa-apa ga masuk lagi ya, masih ada
kesempatan...” Sebenarnya kalimat itu untukku. Mendengar kalimatku, dia
tertawa, “Aku sudah tahu dari tadi pagi, ma, tapi aku sengaja tidak mau kasih
tahu mama dulu, karena kita mau jalan, takut suasananya tidak enak...” Hah? Teganya dia tidak memberitahukanku
secepatnya? Apa maunya?
“Benar kamu tidak kecewa, Ko?”
“Sudah tidak, aku sudah prediksi
tidak masuk. Tahun depan saja ikut lagi, Ma”
“Kok bisa?”
“Aku sudah melewati kekecewaan
yang lebih berat. Waktu SMPTN itu aku sangat kecewa, karena aku benar-benar
menyiapkan diri tapi tidak masuk, yang ini aku bisa menerimanya”
Aku mencoba mengingat kejadian
beberapa saat lalu, mengenali mana perilakunya yang merupakan ekspresi dari perasaan
sangat kecewanya; ia memang sempat menarik diri dari berelasi, berdiam di
tempat tidurnya, enggan menjawab pertanyaan dan menjelang tes Simak, dia bahkan
tidak tidur semalaman.
“Tapi bersyukur kekecewaannya
tidak lama ma, sehabis simak aku kan kebaktian PGK, Firman Tuhan yang
disampaikan Pendetanya membuat aku bangkit, percaya
saja! Ya sudah, percaya saja, aku
mau percaya saja”
Penjelasannya membuatku bagai
diguyur air sejuk, benar, ‘percaya saja’ menjadi sebuah iman yang harus
dipegang. Putraku sudah melakukan bagiannya, terbukti dengan hasil UN yang
sangat memuaskan, hasil SMPTN yang cukup baik (skor-nya sudah diatas 55 saat
dihitung dengan kunci jawaban yang ada, cukup untuk masuk jurusan lain, hanya
tak cukup untuk membuatnya diterima di fak. Kedokteran UI), kerja keras sudah
dilakukannya. Tinggal Tuhan yang melakukan bagian-Nya. Dan kali ini, tampaknya
Tuhan sedang mengasah, membentuk dan memoles ‘karakter’ dan ‘iman’nya. Sudah
seharusnya aku dan suamiku belajar menjadi partner Allah untuk membentuk Jeremy
menjadi serupa dengan gambar-Nya, apalagi dia anak laki-laki, yang kelak akan
menjadi ‘imam’ bagi keluarganya. Putraku harus tahan banting, harus kuat, tak
boleh gampang menyerah.
Tahun ajaran ke depan akan tetap
menjadi tahun yang penuh perjuangan baginya, bagi kami juga. Kursus intensif
bahasa Inggris dan Mandarin yang akan diikutinya, pengalaman menjadi guru
Sejarah kelas 7, 8 dan 9 di sekolah Lidia dengan dimentori ayahnya serta
mempersiapkan diri untuk kembali mengikuti tes SMPTN akan seiring dengan
dentingan piano yang akan terus dimainkannya.
Kemarin setengah bercanda kutanya putraku, “Kamu kuliah apa tahun ini,
Ko?’ Dia menjawab, “Kuliah kehidupan, Ma...”
sambil tersenyum.
“Selamat memasuki kuliah
kehidupan, putraku. Terima kasih untuk kesempatan buat papa dan mama belajar melalui
kegagalanmu. Mari dengan iman kita katakan, percaya
saja” (dhs)