Minggu, 10 Juli 2016

Belajar dari Kegagalan Putraku


     
 Sebab tujuh kali orang benar jatuh, namun ia bangun kembali, 
        tetapi orang fasik akan roboh dalam bencana.          
 (Amsal 24:16)
 


Senin, 30 Juli 2012


Berkali-kali aku mengucapkan kalimat ini kepada Jeremy maupun Abigail, berharap mereka selalu ingat,  “Ingat ya, yang Tuhan sayang itu karakter kita, bukan yang lain. Dia tidak sayang pada apapun yang kita miliki; harta, kesehatan, kesusksesan, kedudukan.... Itulah mengapa kadang kita melihat ada orang yang cinta Tuhan, tapi dibiarkan sakit parah. Itu karena Tuhan ingin dia memiliki karakter yang unggul. Juga kegagalan, karena dalam kegagalan, Dia ingin membuat kita lebih kuat, lebih bersandar...” Sekarang, kalimatku itu menjadi ‘hidup’ dan menjadi ‘kurikulum’ yang Tuhan ijinkan untuk dialami oleh kami sekeluarga.

SMPTN dan SIMAK UI sudah berlalu, putraku mengikuti keduanya dan tidak lolos. Sebuah kenyataan ‘pahit’ yang harus kami terima sebagai keluarga. Sebuah kegagalan yang harus kami maknai dari sudut pandang Allah.  Berat memang, menerima kenyataan bahwa putra kami harus menunda untuk kuliah setahun di fakultas kedokteran sementara kami tahu kalau cita-citanya untuk masuk ke jurusan itu sangat besar.

Suamiku kali ini lebih proaktif menawarkan berbagai alternatif untuk kuliah di swasta, bahkan ia sudah berkonsultasi kepada dr. Sidhi dan dr. Regie untuk meminta pertimbangan apa yang sebaiknya dilakukan saat mengetahui Jeremy belum punya kesempatan masuk UI.  Kali ini aku sengaja tidak mau banyak mencampuri diskusi mereka, membiarkan mereka saling berargumentasi sambil terus berdoa meminta Tuhan memberi jalan keluar yang terbaik untuk masalah ini.  Aku mendengar Jacky berusaha memberikan semangat untuk putranya, “Ko, bukan kamu saja yang tidak diterima. Kokonya Monic yang sekolah di Kanisius, anaknya pinter, rajin ikut BTA juga tidak lolos, dan saat ini dia masuk Admajaya... Ayo, papa akan usahakan dananya kalau kamu mau masuk swasta...” Rupanya Jeremy tetap pada pendirian semula, “Ijinkan Koko tidak kuliah setahun ya, Pa, Koko akan persiapkan diri dengan lebih baik dengan metode Koko sendiri. Kalau tahun depan tidak diterima lagi baru masuk swasta”  Pembicaraan mereka berhenti, aku melihat ketidakpuasan di wajah Jacky, aku tahu, dia pasti cemas dengan keputusan yang dibuat putra kami.

Di kesempatan lain, aku mencoba bertanya kepada Jacky, apa yang menghkawatirkannya dengan keputusan yang dibuat Jeremy. Ternyata sama dengan apa yang kupikirkan, kami berdua kuatir kalau ia membuang setahun dengan percuma. Kali ini kuputuskan aku yang maju bicara, “Ko, papa kecewa loh dengan keputusan kamu...” Aku sengaja menggantung kalimatku, berharap dia menanggapinya bukan hanya dengan kognitif tapi juga dengan afeksinya, biasa, wanita memang memilih menyentuh segi ‘perasaan’. “Kenapa kecewa ma? Papa ingin sekali aku kuliah ya?”

“Ya iyalah, kamu anak pertama papa yang akan kuliah, tentu papa ingin kamu kuliah seperti anak-anak yang lain...”

“Kenapa sih, musti lihat orang lain? Aku kan bukannya ga mau kuliah, tapi tahun depan...”

“Kami kuatir kamu akan buang waktu percuma setahun ini”

“Percayalah ma, aku tidak akan membuang waktuku. Aku akan menggunakan setahun ini dengan baik. Kan aku sudah bilang aku akan belajar bahasa Inggris supaya aku siap saat aku kuliah, trus bahasa mandarin dan akan les bahasa Indonesia”, nadanya mulai meninggi. Mungkin dia merasa terpancing menjadi kesal karena kami belum dapat memahami pemikiran dan menyetujui rencananya. “Aku tetap akan belajar pelajaran yang tak berguna juga, Mat, Fis, Kim hanya untuk tes masuk. Biologi tentu akan koko pelajari lebih banyak karena nanti itu berguna saat masuk kedokteran. Aku tahu kok apa yang akan kulakukan...”

Aku mencoba untuk menerima rencananya walaupun dalam pikiranku aku belum bisa setuju seratus prosen, tapi tidak terlalu kaget karena pemikiran ini sudah pernah dibahas sebelumnya. “Kamu yakin tidak apa-apa tidak kuliah tahun ini? Tidak peduli dengan pandangan orang lain?”

“Justru Koko mengkhawatirkan papa dan mama, kalian harus belajar tutup kuping kalau mendengar orang lain, teman-teman mama mengomentari yang negatif tentang keputusanku ini. Kalau aku sih tidak apa-apa, aku cuek aja, aku tahu kok apa yang harus aku lakukan” Ya, putraku akhirnya mampu menangkap kecemasan kami, kami begitu takut dengan ‘pendapat miring orang lain’ ketimbang men-support keputusan yang sudah dibuatnya dengan berbagai pertimbangan.

Kalimatnya membuatku tersadar bahwa ini sebuah pembelajaran yang bukan hanya dialami oleh putraku tapi juga oleh kami, orangtuanya. Begitu juga dengan belajar menerima kegagalan. Akhirnya aku tahu bahwa gagal masuk Fak Kedokteran UI  di tahun ini ‘lebih berguna’ untuk membentuk putraku menjadi lebih dewasa dan mengandalkan Tuhan ketimbang jika dia diterima.  Hal itu terlihat jelas saat pengumuman Simak yang dimajukan. Pagi itu ia memberi tahukan bahwa di Kompas ada pengumuman Simak, dia akan mencari korannya. Tentu aku masih terus berharap Tuhan memberi kesempatan melalui jalur ini kepada putraku. Tapi kali ini, aku lebih banyak berdiam diri dan berdoa dalam hati, tidak banyak memberinya kalimat penguatan. Hari berlalu sampai sore dan koran masih ada di tanganku, “Masa sih Koko ga hafal nomor Koko sendiri?” aku complain kepadanya. “Ya mana ingat, nanti saja di rumah lihatnya, ya...” jawabnya enteng. Kucoba mencari kecemasan di wajahnya, tapi tidak kutemukan, berbeda dengan saat ia memberitahukanku bahwa ia tidak lolos SMPTN yang lalu. Ia tampak sangat kecewa walaupun mencoba tetap tenang dan tegar.

Sesampainya di rumah, aku masuk kamar dan mengunci pintu untuk segera mencari nomor putraku di antara urutan nomor yang begitu banyak dan panjang. Terus terang, ini pengalaman pertamaku mencari nomor di koran. Dulu saat aku SMA, aku tidak  mengikuti tes masuk PTN karena aku diterima melalui jalur PMDK Negri, sehingga tidak pernah punya pengalaman merasakan kecemasan bercampur harapan saat meneliti nomor-nomor itu. Aku mulai mengeluh, “Tuhan, begitu mudahnya aku kuliah dulu, sebelum lulus ujian, aku sudah dapat PTN, aku tidak mengalami apa yang Koko alami... Tolong dia, Tuhan... Tuhan kan tahu, secara akademis Koko jauh lebih cerdas dari aku. Tes intelegensinya pun di atas aku...”

Aku mencari sambil terus berdoa dan ternyata tidak ada nomor putraku di antara sejumlah nomor yang ada dalam koran itu. Aku menangis sedih, ya Tuhan, aku kecewa lagi. Terbayang dipikiranku kalau putraku benar-benar tidak akan kuliah tahun ini, siapa ibu yang tidak bangga jika anaknya mulai kuliah? Dia pasti akan bersikeras untuk tidak akan kuliah, aku mengenal keteguhannya.  Jeremy mengetuk pintu, meminta aku segara membukanya. Aku harus membukanya, putraku membutuhkanku, begitu pikirku. Dalam kekecewaan aku coba menghiburnya, “Ga apa-apa ga masuk lagi ya, masih ada kesempatan...” Sebenarnya kalimat itu untukku. Mendengar kalimatku, dia tertawa, “Aku sudah tahu dari tadi pagi, ma, tapi aku sengaja tidak mau kasih tahu mama dulu, karena kita mau jalan, takut suasananya tidak enak...”  Hah? Teganya dia tidak memberitahukanku secepatnya? Apa maunya?

“Benar kamu tidak kecewa, Ko?”

“Sudah tidak, aku sudah prediksi tidak masuk. Tahun depan saja ikut lagi, Ma”

“Kok bisa?”

“Aku sudah melewati kekecewaan yang lebih berat. Waktu SMPTN itu aku sangat kecewa, karena aku benar-benar menyiapkan diri tapi tidak masuk, yang ini aku bisa menerimanya”

Aku mencoba mengingat kejadian beberapa saat lalu, mengenali mana perilakunya yang merupakan ekspresi dari perasaan sangat kecewanya; ia memang sempat menarik diri dari berelasi, berdiam di tempat tidurnya, enggan menjawab pertanyaan dan menjelang tes Simak, dia bahkan tidak tidur semalaman.

“Tapi bersyukur kekecewaannya tidak lama ma, sehabis simak aku kan kebaktian PGK, Firman Tuhan yang disampaikan Pendetanya membuat aku bangkit, percaya saja! Ya sudah, percaya saja, aku mau percaya saja

Penjelasannya membuatku bagai diguyur air sejuk, benar, ‘percaya saja’ menjadi sebuah iman yang harus dipegang. Putraku sudah melakukan bagiannya, terbukti dengan hasil UN yang sangat memuaskan, hasil SMPTN yang cukup baik (skor-nya sudah diatas 55 saat dihitung dengan kunci jawaban yang ada, cukup untuk masuk jurusan lain, hanya tak cukup untuk membuatnya diterima di fak. Kedokteran UI), kerja keras sudah dilakukannya. Tinggal Tuhan yang melakukan bagian-Nya. Dan kali ini, tampaknya Tuhan sedang mengasah, membentuk dan memoles ‘karakter’ dan ‘iman’nya. Sudah seharusnya aku dan suamiku belajar menjadi partner Allah untuk membentuk Jeremy menjadi serupa dengan gambar-Nya, apalagi dia anak laki-laki, yang kelak akan menjadi ‘imam’ bagi keluarganya. Putraku harus tahan banting, harus kuat, tak boleh gampang menyerah.

Tahun ajaran ke depan akan tetap menjadi tahun yang penuh perjuangan baginya, bagi kami juga. Kursus intensif bahasa Inggris dan Mandarin yang akan diikutinya, pengalaman menjadi guru Sejarah kelas 7, 8 dan 9 di sekolah Lidia dengan dimentori ayahnya serta mempersiapkan diri untuk kembali mengikuti tes SMPTN akan seiring dengan dentingan piano yang akan terus dimainkannya.  Kemarin setengah bercanda kutanya putraku, “Kamu kuliah apa tahun ini, Ko?’  Dia menjawab, “Kuliah kehidupan, Ma...” sambil tersenyum.

“Selamat memasuki kuliah kehidupan, putraku. Terima kasih untuk kesempatan buat papa dan mama belajar melalui kegagalanmu. Mari dengan iman kita katakan, percaya saja” (dhs)
                                                                                                                                                    

Senin, 22 Februari 2016

Percakapan dengan Putraku

Senin, 12 Mei 2012



Sesungguhnya anak-anak lelaki adalah milik pusaka TUHAN, 
dan buah kandungan adalah suatu upah 
Maz 127 : 3


                                                                                                                            Seusai mengajar di kampus malam ini aku sempatkan masuk ke kamar putra sulungku,  Jeremy yang sedang mengetik dengan laptopnya.  Sambil mengelus punggungnya aku bertanya, “Apakah benar kamu tidak mau masuk ke univ swasta jika tidak bisa masuk kedokteran negri, Ko?” Tanpa melihat ke arahku dia menjawab, “Tidak ma, mahal... Kalau tidak dapat tahun ini, ya coba tahun depan lagi...” Langsung kusambar, “Kalau tahun depan juga tidak masuk?” Dengan entengnya dia menjawab, “Mungkin artinya Tuhan tidak mau aku masuk kedokteran kali... Aku ga mau masuk kedokteran kalau tidak di Univ Negri!”  Aku tidak menimpali jawabannya, agak terkejut memang, aku segera meninggalkannya, masuk ke kamarku sambil membawa kecemasan. Ya, Tuhan... apakah hanya karena biaya yang mahal kami tidak bisa memasukkan Jeremy ke FK Swasta?  Terbayang niatku untuk menjual rumah kami di Bekasi untuk membiayai dia, mana tega membiarkan anak kehilangan cita-citanya hanya karena masalah biaya, walaupun sebenarnya kami tidak menganjurkannya untuk kuliah di kedokteran.

                Biasanya kalau pulang malam setelah mengajar, aku akan kelelahan dan  tidak memasak, Jacky menolong membelikan sate ayam untuk dimakan sebagai menu makan malam.  Sambil menikmati sate, aku kembali membuka percakapan mengenai persiapan menghadapi tes masuk PTN, “Gimana persiapan kamu, Ko? Sudah siap? Seberapa yakin kamu bisa masuk UI?”  Putraku memberi jawaban yang tidak pernah kusangka selama ini, “Tidak siap, aku belum siap kuliah, ma... Aku mau menunda setahun untuk tidak kuliah dulu karena aku belum siap untuk kuliah”  Aku mulai terpancing emosi mendengar jawabannya, mana sanggup mendengar kalau ia akan sengaja menggagalkan tes masuknya dengan alasan dia tak siap... Suamiku terdiam, aku tahu dia sama kagetnya, hanya ketenangannya sanggup membuatnya tidak bereaksi lebih.  Jeremy segera memberondong aku dengan segala argumentasi yang sudah seminggu dipikirkannya, “Sebenarnya, aku sudah mau bicara dengan mama, tapi belum ada waktu yang tepat...”

 Rupanya Tuhan memberikan kesempatan kepada kami malam ini untuk membicarakannya, thanks God.  Lebih mudah mengkonseling anak orang lain dibandingkan anak sendiri, karena perasaanku ikut main dan terlibat dalam, walaupun berusaha untuk memisahkan antara teori konseling dengan perasaan marah, bingung, kasihan yang bercampur jadi satu saat mendengar kecemasan putraku, aku tetap sulit melakukannya. Di hati kecilku, aku membenarkan pemikirannya kalau selama ini dia telah salah memilih prioritas.  Ambisi mengejar nilai baik dan menunjukkan prestasi telah membuatnya kehilangan kesempatan untuk memilih mana subjek atau pelajaran yang penting untuk masa depannya.  Jeremy terus memberondongku dengan pemikiran-pemikirannya, ia berkata, “Aku sudah salah mengikuti pemikiran kebanyakan orang bahwa anak yang cerdas dan pintar adalah anak yang bisa mat, sehingga aku ikut-ikutan masuk Mat Club, ikut kompetisi Mat... aku belajar integral tanpa mengerti buat apa aku belajar! Aku tidak menikmati pelajaran-pelajaran itu. Seharusnya anak-anak yang tidak mau masuk jurusan Mat, tidak perlu belajar sedalam itu, supaya mereka punya waktu untuk mempelajari subjek yang disukainya, yang diminatinya! Padahal aku suka menulis, aku pernah jadi juara lomba menulis sewaktu di SMP, tapi itu semua tidak pernah aku dalami, karena tersita dengan semua pelajaran-pelajaran tak berguna! Pendidikan di Indonesia tidak tahu mana yang penting untuk siswanya!”  Aku tidak tahan mendengar kemarahannya, aku siap melawan argumentasinya, aku ingin mengatakan bahwa masa sekolah tetap ada gunanya, setidaknya untuk pembentukan kebiasaan belajar, karakter... Tapi setiap aku mau bicara, Jeremy lebih dahulu memotong, “Dengarkan aku dulu ma, jangan potong aku.... Ini pikiran aku setelah aku selesai UN! Setelah UN aku punya waktu untuk memikirkan arti sekolah, dan ternyata itu semua tidak terlalu banyak berguna untuk hidup! Apa yang aku pelajari selama ini, tidak akan terpakai saat aku kuliah... Aku tidak mau mengalami masa kuliah seperti aku mengalami masa SMAku, masa sekolahku, aku belajar hanya demi nilai, aku tidak menikmatinya” Pelurunya belum habis, “Mama tahu, kalau mama tanya pelajaran bio, fis, kimia saat aku di kelas 10, aku sudah lupa, tapi aku ingat semua tentang sejarah... Nama raja-rajanya, karena waktu SD aku suka menonton dan aku senang, jadi aku ingat sampai sekarang!”

Aku mengenal putraku dengan baik, biasanya kalau dia sudah bertekad, dia tidak akan menyerah, tetapi kalau dia sudah melepas, dia akan lepaskan tanpa mau mendengar apa penilaian orang terhadap dirinya, terbukti ketika dia mengatakan, “Ma, aku ga mau masuk PTN hanya untuk sebuah status, aku ga mau kalau aku tidak menikmati belajarnya, aku ga mau belajar untuk nilai, aku ga mau jadi dokter yang biasa-biasa saja...” Kali ini aku menangis, di satu sisi aku marah karena keputusannya yang kuanggap kurang bertanggung jawab karena dia berencana akan menggagalkan tesnya , tapi di sisi yang lain, aku begitu bangga padanya, putraku sudah dewasa, dia bukan lagi Jeremy kecilku yang selalu berusaha untuk menyenangkan hati orang, tapi Jeremy yang punya prinsip dan berani menyatakan pikirannya.  Aku langsung teringat nasehatnya beberapa hari lalu kepada Abigail, “Abi, kamu tidak usah masuk SMA, kamu tidak perlu belajar Fisika, Mat, karena menurut Koko, kamu tidak punya bakat. Lebih baik kamu benar-benar belajar musik, karena itu akan jadi hidup kamu. Siapa bilang orang yang bisa Mat lebih pinter dari orang yang bisa main musik...”  Oh, jadi itu maksudnya mengapa ia memotivasi adik perempuannya untuk masuk ke SMK jurusan musik selepas dari SMP.  Kamu sudah dewasa, Nak... Mama seakan tidak bisa mengejar cara berpikirmu yang lebih arif daripada kami yang sudah lebih tua.

Lama kami berdiskusi, lebih tepatnya berdebat, masing-masing menyatakan argumentasinya. Suamiku tampaknya sengaja menghindar, aku tahu kalau dia juga merasa galau, tidak siap menghadapi pemikiran putranya yang agak radikal. Hem... beberapa buku yang dibacanya tampaknya memang sangat mempengaruhi cara berpikirnya. Dia tetap pada keputusannya untuk ‘menyerah’ di tahun ini dan akan memperdalam bahasa Inggris dan terus ikut bimbel untuk mencoba lagi di tahun depan.  Keputusan itu dibuatnya dengan harapan dia akan lebih siap saat mengikuti kuliah sehingga dapat menikmati kuliahnya. Aku masih mencoba berbicara, kali ini aku melunak, mengajaknya berpikir lebih jernih dan logis, tentu sambil berdoa agar Tuhan memberi hikmat, “Ko, mama tidak keberatan kamu mengulang tes di tahun ajaran depan kalau kamu sudah berusaha maksimal dan ternyata tidak diterima. Menurut mama itu jalan Tuhan. Tetapi kalau kamu sengaja akan menggagalkan, itu yang mama tidak pikir kamu bersikap tidak adil. Tidak selalu Tuhan memberi kesempatan jika kita tidak menggunakannya. Kamu siap pun, kamu sepintar apa pun, kalau Tuhan tidak mengijinkan, kamu tetap tidak akan diterima, jadi jangan bermain-main dengan sebuah kesempatan...”  Putraku masih tetap tidak bergeming, dia makin menyatakan bahwa dia tidak siap. Akhirnya aku bertanya, apa sebaiknya dia mencoba jurusan lain saja yang mungkin tidak seberat kedokteran, tetapi ternyata bukan itu jawabannya, “Ma, aku tetap memilih bidang kedokteran, aku hanya ingin menundanya setahun sampai aku siap... sampai kemampuan bahasa Inggrisku memadai untuk dengan mudah membaca buku-buku teks!”  Oh, itu rupanya... Akhirnya jalan keluar coba kutawarkan, “Ko, tidakkah kamu akan merasa lelah dan buang-buang waktu jika kamu harus mundur setahun untuk persiapan lagi, harus belajar lagi pelajaran Mat, Fisika, Kimia, yang menurut kamu tidak berguna? Sementara sekarang kamu sudah hampir finish, sudah hampir selesai?  Bukankah energi kamu akan terbuang percuma? Ayolah Nak, teruslah berjuang, jangan mundur... Kalau ternyata memang tidak bisa, ya sudah, kami tidak paksa kamu... setelah selesai tes, kami akan memberimu kesempatan untuk ikut kursus intensif untuk improve Inggrismu, masih ada waktu tiga bulan untuk mempersiapkannya”  Rupanya penjelasan ini logis baginya dan ia menyetujuinya.  “Oh Tuhan, lega rasanya, setidaknya aku tahu, putraku belum menyerah, semangatnya dibangkitkan lagi ....”

Kami menutup ‘perdebatan’ kami dengan doa, aku mendoakan putraku, aku menyerahkan putra sulungku untuk dipakai Allah untuk menyatakan kemuliaan-Nya. Aku percaya, putraku akan jadi alat di tangan-Nya karena banyak hal yang kuamati darinya, yang membuatnya tampak berbeda dengan remaja seusianya; kematangannya, kesopanannya, cara berpikirnya, kepeduliannya... Tuhan aku juga mau mulai berdoa untuk cita-cita yang pernah ditulisnya, jujur aku mentertawakannya saat membaca  ia  menulis, “Aku mau jadi mentri kesehatan”. Biarlah kehendak-Mu yang jadi, Tuhan, amin. (dhs)